Your subscription has now been confirmed. We look forward to keeping you up to date on the latest news around sustainable development in your chosen fields.
RBF | Mar 15, 2017
Responsible Business Forum keempat yang berlangsung di Jakarta, Indonesia, mengakhiri hari kedua dan terakhirnya dengan menghasilkan beberapa rekomendasi mengenai bagaimana cara memperoleh keamanan pangan dan nutrisi di Asia, wilayah yang memiliki 60% dari kelaparan global.
Selama dua hari tersebut, petani lahan kecil, isu-isu hak atas tanah dan distribusi tanah yang tidak merata menjadi tema-tema yang terus dibahas dan merupakan salah satu topik yang paling dibicarakan di antara para pemangku kepentingan, bersama dengan para pembuat kebijakan utama yang menekankan betapa pentingnya mengatasi masalah-masalah tersebut.
Membicarakan mengenai isu hak tanah dan petani, Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia, Sofyan Djalil, menjelaskan, “Transformasi perlu dipercepat karena akan mengangkat sebagian besar kualitas pendapatan petani Indonesia yang hari ini sangat minim, agar menjadi lebih makmur di kemudian hari. Statistik saat ini mengindikasikan bahwa terdapat sebanyak 28.9 juta petani dengan pendapatan yang minim, sedangkan hanya ada 2.1 juta yang tergolong sebagai petani terampil. Namun, apabila pemerintah ingin mempercepat transformasi ini, kita harus menghadapi tiga tantangan utama. Tantangan tersebut adalah ketidakseimbangan dalam alokasi sumber daya produksi, yaitu lahan dan petani terampil, ketidakseimbangan dalam variasi tanaman yang ditanam, dan ketidakefisienan dalam pengolahan dan logistik pasca-panen.”
“Permasalahan dengan sumber daya tanah berasal dari kenyataan bahwa produksi pangan terkonsentrasi di pulau Jawa yang memiliki tanah paling subur, jaringan irigasi terbaik dan angka tertinggi tenaga kerja terampil di Indonesia,” tambah Sofyan.
“Sistem distribusi produk pangan di pulau Jawa lebih berkembang dibandingkan dengan yang ada di luar Jawa karena jarak yang relatif dekat dari sumber produksi ke pasar akhir. Meskipun pulau Jawa memiliki angka penduduk terpadat, namun hal ini menjadi kendala serius terhadap peningkatan kualitas hidup petani. Kepemilikan lahan secara individu kurang dari 0.3 hektar per kapita,” ujarnya.
Masalah-masalah ini telah mencegah sektor pertanian Indonesia untuk mencapai potensi penuhnya. Saat ini, sebanyak 35-45% dari penduduk Indonesia adalah petani. Walau begitu, kontribusi industri pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) tetap rendah, di bawah angka 15%.
Masalah besar lainnya yang dibahas dalam RBF Jakarta adalah akses keuangan, yang terkait dengan isu hak atas tanah. Di Indonesia, sebagian besar petani tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga sulit bagi petani untuk mendapatkan pembiayaan formal. Akibatnya, mereka memilih untuk mendapatkan pinjaman uang dari rentenir.
“Melegalkan kepemilikan tanah merupakan bagian dari membuka akses terhadap pendanaan. Sangat mudah untuk membawa sertifikat tanah Anda ke bank sebagai jaminan, tetapi tanpa sertifikat itu, akan sangat sulit,” ujarMuliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, saat memberi sambutan.
Sekertaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, mengatakan bahwa investasi asing dan swasta juga sangat penting dalam memastikan inklusivitas keuangan bagi petani. “Kami mendorong adanya keterlibatan dari investasi swasta dan kami berharap dapat menarik investasi asing. Saya percaya bahwa melalui forum ini, kami dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman kami,” ungkapnya.
Pada akhirnya, masalah seputar akses finansial tidak hanya berasal dari para petani dan pelaku industri. “Kita juga harus melihat hal-hal yang lebih besar dari itu, seperti misalnya kompleksitas dari bisnis ini. Oleh karena itu, kita harus mencari solusi yang bersifat komprehensif,” tambah Muliaman.
“Tidak mengherankan jika dampak lingkungan dan sosial selalu menjadi sorotan,” ujar Elizabeth Clarke, Business and Biodiversity Programme Manager dari Zoological Society of London, yang memimpin sesi ini. Sesi mengenai minyak kelapa sawit menghasilkan sembilan rekomendasi yang berpusat pada kepemilikan lahan, akses finansial dan solusi mengenai produktivitas yang rendah. Clarke mengatakan bahwa sangat penting rekomendasi-rekomendasi ini memperhitungkan suara dari semua pemangku kepentingan, termasuk para petani lahan kecil. Untungnya, petani lahan kecil dari beberapa daerah di Indonesia diundang kepada forum ini dan diberikan kesempatan untuk berbagi suara mereka selama sesi berlangsung. “Ada pentingnya inklusi, menyuarakan, kepercayaan, dan rasa hormat. Kami sangat beruntung dapat mendengarkan Pak Sofyan, seorang petani minyak kelapa sawit dari Sumatera,” ujarnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh para petani kecil dan dampak yang mereka alami pada agri-ekosistem telah menjadi tema yang selalu dibahas pada setiap sesi di Responsible Business Forum. Pertumbuhan pasar konsumen yang cepat di Asia, khususnya di China, telah mendorong permintaan terhadap cocoa, dan pasar dunia yang telah mengalami penurunan selama beberapa tahun, mulai meningkatkan harga dari komoditi ini. Para petani kecil yang menjadi awal dari rantai persediaan hanya mendapatkan bagian kecil dari keuntungan dan bahkan tidak mengetahui peningkatan harga dari seluruh pasar grosir.
Antara 80 sampai 90% output global yang dihasilkan oleh petani kecil, seperti Muslimin, salah satu dari 10 petani kecil yang bergabung diskusi di RBF Jakarta tahun ini. Muslimin telah menanam kakao pada satu hektar lahan di Sulawesi, Indonesia. “Dulu, perkebunannya sangat baik, tetapi selama bertahun-tahun telah dilanda masalah. Terlalu sering menggunakan pupuk kimia telah merusak tanah, produksi terus menurun, dan perubahan iklim menyebabkan musim menjadi tak terduga.”
Beberapa tahun terakhir, petani seperti Muslimin telah menerima pendidikan dari program Cocoa Life yang dijalankan oleh Swisscontact, Cargill dan Mondelez, dan hasil nya sekarang mulai naik. “Sangat sederhana,” katanya. “Jika produksi lebih baik, saya memiliki penghasilan yang lebih baik.”
Berbicara tentang peranan dan tanggung jawab bisnis pada perubahan sistem pangan global, Peter Bakker, Presiden dari World Business Council for Sustainable Development, menitikberatkan pada situasi yang dihadapi oleh para petani kecil. “Ada sebanyak 500 juta petani kecil di seluruh dunia dan hampir setengahnya tidak mampu mempertahankan usaha mereka. Keadaan ini tidak dapat diperbaiki oleh usaha satu orang saja. Kita harus bekerja sama,” ungkapnya. Sesi ini fokus pada inovasi dan sistem program yang saling berhubungan antara bisnis, ilmu pengetahuan dan kebijakan yang mendorong perubahan – mencakup seluruh aspek nilai dari konsumen melalui distribusi, proses dan produksi.
Di akhir forum, para pemangku kebijakan membahas rekomendasi-rekomendasi tentang bagaimana untuk meningkatkan kesinambungan dan kesejahteraan para petani di tujuh sektor yang berbeda: budidaya & perikanan, kakao, kopi, susu, biji-bijian, minyak sawit dan beras, setelah dibagi ke dalam beberapa sesi yang berbeda. Sesi minyak sawit berada di antara salah satu sesi yang paling banyak dihadiri di RBF. RBF Jakarta selanjutnya akan mulai lagi pada bulan Maret tahun depan.
Your subscription has now been confirmed. We look forward to keeping you up to date on the latest news around sustainable development in your chosen fields.